Sumber : eramuslim.com
Kerja Adalah Ibadah (Are You Sure?)
Sabtu, 30/05/2009 08:25 WIB
oleh Sabrul Jamil
“Sibuk Mas, kerja. Lagian kerja kan juga ibadah!” katanya ketika
kuajak ikut pengajian. Aku maklum, dan mengatakan semoga lain kali dia
ada waktu.
Kerja adalah ibadah merupakan kalimat yang sering kudengar, dan
kuamini alias kusetujui. Kerja adalah perwujudan konkret dari rasa
syukur seorang hamba terhadap potensi amaliah yang dia miliki. Jadi
kalau ada seseorang yang semangat bekerja, mencari nafkah halal untuk
keluarga, tentu perlu diacungi jempol.
”Maka apabila telah dilaksanakan shalat, bertebaranlah kamu di muka
bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah banyak-banyak supaya
kamu beruntung”. (Q.S. Al-Jumu’ah (62): 10)
Diriwayatkan dari Al Miqdam ra. : Nabi Muhammad Saw pernah bersabda,
“tidak ada makanan yang lebih baik bagi seseorang kecuali makanan yang
ia peroleh dari uang hasil keringatnya sendiri. Nabi Allah, Daud as. ,
makan dari hasil kerjanya sendiri”
Aku jadi teringat masa-masa seusai lulus kuliah dahulu. Bekerja
sebagai profesional IT, membuatku bangga dan bersyukur, karena mampu
mengamalkan ilmu yang kumiliki. Ini juga sekaligus wujud bakti kepada
orang tua yang sudah susah payah menguliahkanku, selain perwujudan
tanggung jawab terhadap anak dan istri. Pagi, ketika matahari baru
saja menggeliat muncul di timur, aku sudah berangkat. Malam hari,
ketika matahari telah lama terbenam, aku baru pulang. Semangat
pembuktian diri begitu menggebu-gebu. Pembuktian bahwa ilmu yang
kumiliki tidaklah sia-sia, bahwa diriku adalah orang yang berguna bagi
orang lain. Dan bukankah ada janji pahala ibadah bagi orang yang
berpayah-payah mencari nafkah? Lengkaplah sudah.
Namun benarkah semua seindah kelihatannya?
Meski ini adalah kejadian bertahun-tahun yang lalu, namun masih segar
dalam ingatanku, ketika aku lebih sering tidak sholat shubuh di Masjid
karena kesiangan. Pulang kerja sudah larut malam. Sangat letih. Letih
secara fisik, letih pula pikiran karena berbagai urusan kantor.
Jangankan untuk bangun malam untuk qiyamul Lail, bangun tatkala adzan
shubuh berkumandang pun sudah merupakan prestasi. Tapi dalih masih
bisa dicari. Toh aku lelah bekerja untuk mencari nafkah? Bukankah
mencari nafkah adalah ibadah?
Sholat-sholat lain pun tidak bisa di awal waktu. Jangankan sunnah
dhuha, untuk bisa berjamaah on time di Masjid kantor pun seringkali
tak bisa kulakukan. Pekerjaan yang kubanggakan menjadi prioritas
utama. Sholat masih bisa belakangan, dengan alasan pekerjaan yang
kulakukan berkaitan dengan kepentingan orang banyak. Tentu Allah bisa
maklum kan? Demikian pikirku secara keterlaluan.
Posisi dan gajiku memang melesat cepat. Namun jelas ada harga yang tak
sebanding yang harus kubayar. Uang banyak ternyata tak mampu
menenangkan hatiku. Pengajian-pengajian semakin jarang kuikuti,
menambah parah ritme ibadah yang tidak karuan. Silaturahim semakin
jarang. Pekerjaan ternyata telah menjadi Tuhan baru, menggantikan
Allah Yang Maha Memberi rizki.
Bagaimana mungkin kita dapat berbahagia dengan kehidupan yang berfokus
pada kerja, kantor, kerja, kantor dan seterusnya? Bagaimana kita bisa
yakin kita berada di tempat yang benar, jika setiap tiba hari senin
kita mengeluh, ”Yaah, sudah harus masuk kerja lagi.” Bagaimana kita
bisa yakin telah mengerjakan sesuatu yang benar jika setiap kali jam
pulang kita justru merasa lega?
Kicau burung yang riang gembira menyambut pagi tak berarti apa-apa
bagiku yang harus memburu waktu. Tenggelamnya matahari senja, yang
sebenarnya kunikmati dari pelataran musholla, tak pernah bisa
kusaksikan. Bahkan tawa canda riang bersama anak-anak hanya seminggu
sekali dapat kulalui. Itu pun diiringi dengan bayang-bayang keletihan.
Allah seperti mengingatkanku bahwa aku telah terjerat dalam perangkap
yang kubuat sendiri.
Akhirnya aku menyadari bahwa tidak semua orang boleh atau berhak
mengatatakan bahwa kerja adalah ibadah. Bagaimana mungkin disebut
ibadah, jika membuat kita semakin tidak mengenalNya dan mensyukuri
segala anugerahNya? Bagaimana bisa bernilai ibadah, jika justru
menghasilkan kegelisahan dan ketidakberkahan dalam hidup? Bagaimanalah
kerja itu bisa dianggap ibadah jika justru saat-saat sholat fardhu
kita hanya menggelar sajadah sekenanya, di sela-sela kaki kursi dan
meja, karena tak bisa berpisah jauh dari komputer kerja kita? Kita tak
mampu merasakan kehadiranNya bahkan saat kita tengah beribadah mahdhoh
di hadapanNya!
Mungkin waktu itu aku salah memaknai doa: ”Ya Allah berilah aku
kebaikan di dunia dan kebaikan di akhirat ...”
Karena sejatinya indikasi kebaikan – hasanaat – adalah ketika
dibukanya pintu-pintu ketaatan. Ketika kita dimudahkan untuk
berkomunikasi mesra denganNya. Ketika tibanya waktu-waktu sholat kita
sambut dengan semangat, tidak dengan malas-malasan. Indikasi hasanaat
bukanlah pada capaian-capaian duniawi apapun bentuknya, selama ia
tidak mendekatkan hubungan kita dengan Sang Pemberi Kebaikan.
Lalu, apakah kemudian kerja menjadi tidak berarti.
Ah, tentu bukan itu pointnya. Pointnya adalah yang utama bagi kita
menjaga hubungan dengan Allah. Meski Ia adalah dekat, bahkan lebih
dekat dari urat leher kita sendiri, namun belum tentu kita merasa
dekat denganNya. Bahkan belum tentu pula Ia menganggap kita adalah
orang-orang yang dianggap memiliki kedekatan khusus denganNya.
Dengan kedekatan tersebut, dalam segala aspek kehidupan kita, yang
kemudian kita minta adalah petunjukNya. Dalam bekerja misalnya, kita
mulai dengan meminta agar Ia memudahkan urusan kita. Bukankah doa-doa
yang Rasulullah ajarkan menunjukkan bahwa kita perlu selalu meminta
kemudahan dalam berbagai urusan?
“Ya Allah, aku memohon kepada-Mu, rahmat dari sisi-Mu. Dengan
rahmat-Mu Engkau menerangi hatiku. Dengan rahmat-Mu Engkau
mengumpulkan dan memudahkan urusanku. Dengan rahmat-Mu Engkau balikkan
sesuatu yang tiada dariku. Dengan rahmat-Mu Engkau Angkat kesaksianku.
Dengan rahmat-Mu Engkau sucikan amalku. Dengan rahmat-Mu Engkau
ilhamkan kedewasaanku. Dengan rahmat-Mu Engkau kembalikan sesuatu yang
hilang dariku. Dengan rahmat-Mu Engkau jaga aku dari segala
keburukan.” (lihat Ar Rasul, karya Said Hawwa)
Dengan demikian, segala ikhtiar yang kita lakukan merupakan ikhtiar
yang terilhami, karena kebersamaan kita denganNya. Mudah-mudahan
dengan demikian Ia pun akan memudahkan kita dalam bekerja dan berbagai
urusan. Sehingga – misalnya – waktu prime time sholat lima waktu untuk
audiensi denganNya dapat kita penuhi dengan lapang.
Setelah itu, barulah agaknya kita bisa mencoba mengatakan kembali,
meski tetap dengan hati-hati, ”ya, kerja saya bernilai ibadah, insya
Allah”.
Wallahu a’lam bishshowwab
Siapa yang Kaya?
9 tahun yang lalu
Posting Komentar